Saya datang ke Lombok dengan ekspektasi sederhana: mencari ketenangan, menikmati alam, dan mencicipi makanan khas. Tapi siapa sangka, justru sebuah pura—yang awalnya saya kira hanya tempat ibadah biasa—membuat saya merenung jauh lebih dalam tentang toleransi, sejarah, dan cara hidup yang penuh hormat. Namanya: Pura Lingsar.
Pura ini bukan sembarang pura. Ia tidak hanya menjadi tempat pemujaan umat Hindu, tetapi juga suci bagi penganut Islam Wetu Telu, sebuah kepercayaan lokal yang masih dianut sebagian masyarakat Sasak di Lombok. Sebuah tempat yang tak hanya menyatukan agama, tapi juga menyatukan cara pandang dan kebersamaan yang begitu langka di zaman modern ini.
Sekilas Tentang Lokasi dan Suasana Pura
Pura Lingsar terletak di Desa Lingsar, sekitar 15 menit berkendara dari pusat Kota Mataram. Perjalanan ke sana melewati hamparan sawah, perbukitan, dan kehidupan desa yang tenang. Saya datang pagi-pagi, ditemani seorang pemandu lokal yang sekaligus menjelaskan sejarah dan makna pura ini dengan penuh semangat.
Dari luar, suasananya teduh dan asri. Banyak pohon besar yang sudah berumur puluhan, bahkan ratusan tahun, mengelilingi area pura. Udara terasa sejuk, suara gemericik air dari sumber mata air alami menenangkan pikiran, dan para penjaga pura menyambut dengan ramah. Ada ketenangan spiritual yang langsung terasa begitu kita masuk.
Sejarah dan Latar Belakang Pura Lingsar
Pura Lingsar dibangun pada tahun 1714 oleh Anak Agung Ngurah, seorang bangsawan dari Kerajaan Karangasem, Bali, yang waktu itu sedang mengembangkan kekuasaan di Lombok. Namun, yang menarik adalah pendekatan yang digunakan sang raja: bukannya menghapus budaya lokal, ia justru merangkul masyarakat Sasak dan kepercayaan mereka.
Hasilnya adalah sebuah tempat suci yang mempertemukan dua tradisi spiritual: Hindu Bali dan Islam Wetu Telu. Keduanya tidak dilebur, tetapi berdiri berdampingan dalam harmoni.
Bayangkan, dalam satu kompleks pura, umat Hindu sembahyang di Bale Pura Gaduh, sementara penganut Wetu Telu berdoa di Kemaliq—sebuah tempat suci yang lebih sederhana tapi tidak kalah sakral. Tidak ada pertentangan, hanya saling menghormati.
Simbol-Simbol Spiritual yang Menyatu
Salah satu hal yang paling menyentuh saya adalah bagaimana simbol-simbol dari kedua kepercayaan tidak saling mengalahkan, tetapi saling melengkapi. Misalnya, adanya mata air suci yang dipercaya sebagai tempat pembersihan rohani bagi kedua umat. Di tempat ini, masyarakat Sasak biasa mengambil air untuk ritual, sementara umat Hindu melakukan “melukat” atau penyucian diri.
Di dalam area Kemaliq, saya melihat sesajen berisi telur, beras, dan air kelapa—bukan sesajen ala Bali, tapi lebih sederhana, khas masyarakat Wetu Telu. Di sisi lain, bunga kamboja dan dupa beraroma khas memenuhi pelataran Bale Pura Gaduh.
Semua ritual itu berjalan bersamaan, tanpa saling ganggu. Rasanya seperti melihat dua sungai yang mengalir sejajar, membawa pesan yang sama: kedamaian dan penghormatan terhadap yang berbeda.
Perayaan Topat War: Festival Toleransi Rasa Lokal
Kalau kamu datang ke Pura Lingsar pada waktu yang tepat, kamu bisa menyaksikan Perang Topat. Tapi tenang, ini bukan perang sungguhan. Ini adalah tradisi tahunan yang dilakukan sebagai bagian dari wujud syukur kepada Tuhan atas panen dan kedamaian.
Umat Hindu dan Islam Wetu Telu berkumpul di halaman pura, lalu saling lempar ketupat (topat) dengan riang. Suasana penuh tawa, doa, dan musik tradisional. Saya sendiri sempat kena lempar satu ketupat dan malah ketawa bareng ibu-ibu dari desa sebelah. Energinya begitu hangat dan inklusif.
Tradisi ini bukan cuma tontonan. Ia adalah pelajaran hidup tentang bagaimana agama dan budaya bisa hidup berdampingan—bukan hanya dalam teori, tapi dalam praktik sehari-hari yang sangat nyata.
Makna Mendalam Bagi Masyarakat Lombok
Bagi masyarakat lokal, khususnya suku Sasak, Pura Lingsar bukan sekadar simbol kerukunan. Ini adalah bukti hidup bahwa identitas mereka terbentuk dari perpaduan yang kompleks namun harmonis.
Seorang bapak tua yang saya temui di pelataran pura berkata, “Kami tidak pernah merasa perlu memilih salah satu. Kami cukup menghormati keduanya.” Kalimat sederhana itu begitu kuat. Dalam dunia yang sering terjebak pada dikotomi dan fanatisme, Pura Lingsar berdiri sebagai bukti bahwa keberagaman bisa dikelola dengan bijak.
Tidak heran jika Pura Lingsar menjadi salah satu destinasi budaya paling kuat di Lombok. Bagi kamu yang tertarik dengan wisata budaya dan spiritual yang mendalam, ini bukan tempat yang bisa dilewatkan. Apalagi jika kamu menggunakan paket tour Lombok yang memang mengajak wisatawan menyelami sisi otentik dari pulau ini.
Refleksi Pribadi Setelah Kunjungan
Saya pulang dari Pura Lingsar dengan pikiran yang lebih tenang dan hati yang lebih hangat. Bukan karena tempatnya indah secara visual—walaupun memang sangat memesona—tapi karena energi kebersamaan yang sangat langka dan tulus.
Dalam perjalanan pulang, saya banyak diam. Merenungi bahwa toleransi itu bukan slogan. Ia hidup dalam bentuk sederhana: dalam senyum penjaga pura, dalam air suci yang dibagi bersama, dalam ketupat yang dilempar dengan tawa.